Ruang Opin:i
PERANAN BUDAYA UNIVERSITAS JAMBI
Oleh Maizar Karim Elha*)
Universitas Jambi (Unja) adalah satu-satunya universitas negeri di Melayu Jambi. Ia tidak melihat dirinya sebagai bagian yang terpisah dari kebudayaan negerinya dan juga kebudayaan sekitarnya. Ia tidak melihat dirinya sebagai dunia terpencil dalam masyarakatnya. Unja juga menyadari bahwa ia adalah sebagai bagian dari kebudayaan suatu negara. Karena itu, Unja tidak mau menjadi universitas lokal, tetapi adalah universitas nasional yang terbuka untuk siapa saja. Dengan demikian, Unja juga punya komitmen dalam proses pengembangan kebudayaan nasional.
Perkembangan kebudayaan nasional itu, seandainya diamati dan dipahami proses perubahannya, maka dapat dikatakan, kita berada pada budaya masyarakat agraris menuju masyarakat modern. Unja dengan segala fakultasnya, dengan segala perangkat-perangkat penelitiannya bisa diarahkan ke arah itu. Di samping sudah tentu juga memberikan pengetahuan-pengetahuan dasar tentang berbagai macam ilmu.
Keterlibatan Unja dalam kebudayaan, jelas tidak ingin lepas dari proses perkembangan itu sendiri. Akan tetapi, kalau ia mengambil posisi begitu, bukan berarti bahwa ia juga menganggap remeh kebudayaan lokal. Karena keberadaan Unja di Negeri Melayu Jambi adalah suatu kenyataan tersendiri yaitu kenyataan bahwa Jambi itu adalah suatu daerah yang baik, yang mewarisi budaya tradisi Melayu yang sudah mapan, dan telah menghasilkan sistem nilai demokratis dari negara kebangsaan.
Melayu Jambi juga melahirkan segi kebudayaan yang lain, terutama dalam kesenian. Ekspresi kesenian itu harus diakui, merupakan suatu aset yang terpenting bagi kebudayaan nasional. Kalau sistem nilai Melayunya ada yang tidak relevan kita pakai, biarkanlah, tidak usah lagi menjadi bagian dari sistem nilai. Akan tetapi, dari sudut melestarikan nilai-nilai estetis Melayu, Unja seyogyanya ikut aktif memelihara nilai-nilai tersebut dan mengembangkannya.
Kebudayaan dalam arti luas secara kualitatif ditandai oleh, antara lain: tingkat hidup rakyat dan kesejahteraan rakyat. Untuk menjaga kualitas ranah-ranah kebudayaan ini, perlu diciptakan suasana atau kondisi-kondisi yang kondusif. Penelitian-penelitian kebudayaan hendaknya tidak hanya diarahkan kepada sejarah kebudayaan atau peninggalan-peninggalan arkeologis, tetapi juga perlu diarahkan kepada orientasi, perubahan, dan relevansi nilai dalam sistem nilai budaya. Namun, diakui memang, kita tertumbuk pada persoalan klasik: dana penelitian; juga susahnya meyakinkan sumber-sumber dana di pusat atau dimana pun untuk menyokong penelitian-penelitian tentang kebudayaan itu.
Berbagai fakultas di Unja selayaknya terlibat dalam pembinaan dan pengembangan kebudayaan, baik yang bersifat lokal, nasional, maupun serumpun atau regional. Jurusan PBS FKIP Unja, misalnya, sudah saatnya memiliki visi dan misi budaya yang kongkret. Di samping berusaha menghasilkan sarjana-sarjana, selayiknya juga memberikan suatu wawasan mendalam mengenai permasalahan-permasalahan kebudayaan kita. Begitu juga fakultas-fakuktas lain, tak hanya menyiapkan sarjana-sarjana yang cakap dalam aspek teknis, tetapi juga keindonesiaan. Jadi, ada komitmen institusional yang terwujud secara kurikuler, kokurikuler, ekstra kurikuler, atau kebijakan yang spesifik (khusus).
Salah satu peranan perguruan tinggi di bidang kebudayaan adalah sebagai inspirator. Unja sebagai inspirator aktivitas kebudayaan atau kesenian, cukup memiliki pemikir-pemikir, Unja sebagai pusat kebudayaan harus mampu memfasilitasi dan menjadi laboratorium aspirasi masalah-masalah kemasyarakatan, politik, dan kebudayaan. Unja sebenarnya cukup punya pemikir-pemikir di bidangnya, hanya saja, Unja belum maksimal memanfaatkan potensi itu. Namun, di tengah-tengah itu, tetap terlihat adanya suatu titik cerah yang justru ditampakkan oleh aktivitas mahasiswa di bidang kebudayaan.
Sebagai lembaga pendidikan yang memliki komitmen terhadap persoalan-persoalan kebudayaan, mestinya Unja terlibat lebih banyak lagi dalam persoalan-persoalaan kebudayaan masyarakat yang tak hanya dalam satu aspek. Dalam hal ini, agaknya Unja belum maksimal. Peranan Unja dalam bidang kebudayaan, secara kongkret sebenarnya belum mendekati sebagaimana mestinya.
Sementara itu, kebudayaan dalam masyarakat berlangsung terus-menerus. Kebudayaan dalam aspek cara hidup, ekspresi dan tindakan, serta produk-produk yang dihasilkan, berlangsung dengan sendirinya. Proses kebudayaan yang ada di dalam masyarakat itu berjalan seperti air hidup, mengalir secara alamiah. Kecil sekali disentuh secara sengaja. Tak ada langkah, atau strategi yang strategis untuk menyentuh aspek-aspek dari kebudayaan yang kita sebut tadi. Misalnya dalam cara hidup, dalam teknologi, dan lain-lain. Kalaupun ada perubahan dalam masyarakat sekitarnya, itu bukan serta merta karena Unja, tetapi di dalam masyarakat itu sendiri ada proses.
Dalam ekspresi pun belum ada geliat yang bermakna. Ia terkesan hanya memproses orang-orang supaya lulus agar masuk pada pasaran kerja—kalaupun itu kesampaian--. Yang lebih dari itu, untuk memproses makhluk budaya, mungkin mencitrakan suatu proses yang terlalu muluk. Kalau dilihat secara kritis, tidak dengan mitos-mitos yang abstrak, tidak dengan kebanggaan-kebanggan semu, maka dapat ditarik suatu kenyataan: belum ada suatu sistem dalam Universitas Jambi itu yang menyebabkan lahir manusia-manusia budaya. Yang dihasilkan adalah manusia-manusia yang diproses dalam keilmuan-keilmuan tertentu yang serba tanggung juga.
Makhluk budaya harus merupakan salah satu faktor dari tiga aspek tadi (cara hidup, ekspresi dan tindakan, serta produk-produk yang dihasilkan). Berbagai aspek yang ada justru dihasilkan orang luar. Bahkan pusat-pusat penelitian yang tugasnya untuk mengkaji kebudayaan, ternyata kurang mendapat perhatian sesungguhnya. Dan yang lebih banyak mendapat perhatian adalah kajian-kajian yang bernilai politis, bernilai pragmatis, dalam konteks birokrasi pembangunan. Unja memang belum mempunyai memori untuk punya peranan dalam konteks kebudayaan. Selama ini, hanya terkesan punya peranan yang sifatnya pragmatis saja, yang bisa terpakai langsung dalam pembangunan. Padahal, sesungguhnya banyak hal yang berkaitan dengan proses kebudayaan itu tidak bisa langsung punya nilai secara pragmatis untuk pembangunan. Kita paham bahwa sesungguhnya semua institusi yang memproses manusia diharapkan manusia itu mempunyai konteks terhadap proses kebudayaan.
Jadi, ada yang harus didandani dalam institusi itu, dan yang harus didandani terlebih dahulu adalah pengajarnya sendiri. Tenaga pengajarnya harus sadar dulu bahwa ia itu makhluk berbudaya. Kalau ia tak bisa jadi produsen dulu, yah konsumen budaya dulu, konsumen budaya yang benar. Dalam penyelenggaraan-penyelenggaraan kesenian, misalnya, yang memang sering di bawah standar—yang diselenggarakan Unja--, tak ada dosennya yang datang. Jadi, apresiasinya dibenahi dulu, baru kemudian pada gilirannya bisa pada mahasiswanya. Dengan demikian, kalau lulusan-lulusan kita benar-benar sebagai makhluk budaya, niscaya nanti akan punya dampak di tengah masyarakatnya.
Kita menyadari, sebagai institusi, Unja memiliki pengaruh langsung yang kecil dalam masyarakat. Universitas sebagai lembaga pendidikan, sebagai tempat para cendekiawan, sebagi tempat permenungan-permenungan, tak akan mampu memberikan dampak langsung kepada masyarakat. Ia hanya memberi spirit, memberi inspirasi. Hal ini harus kita maklumi. Lembaga pendidikan tinggi mengemban tugas mengembangkan ilmu itu sendiri, ilmu murni atau ilmu terapan. Ia harus menjaga kemurnian itu sendiri. Sebab tanpa ilmu murni tak mungkin sarjana-sarjana terilhami untuk memecahkan masalah-masalah yang lebih praktis.
Dunia memang selalu berubah. Kini, di era yang didominasi oleh materialisme dan kapitalisme, yang berorientasi ekonomi dan politik, peranan kebudayaan semakin besar. Kebudayaan justru berfungsi sebagai penyeimbang. Pada titik tetentu, kebudayaan mengingatkan, bahwa percepatan kemajuan manusia, misalnya, terlalu cepat, terlalu jauh berorientasi ke masa depan--bahkan orientasi seperti itu bisa menimbulkan akibat-akibat yang justru negatif--, kebudayaan berfungsi menjadi suatu rem. Jika hasil-hasil penelitian dari lembaga penelitian kebudayaan, misalnya, memperlihatkan hasil yang agak berbeda dengan semangat kemajuan kapitalistik dan materialaistik yang terlalu cepat larinya, maka hasil penelitian itu dapat pula menjadi rem.
Jadi, peran lembaga pendidikan tinggi adalah memberi inspirasi-inspirasi bagi perkembangan kebudayaan masyarakatnya melalui ilmu murni, yang ditimba para mahasiswa. Kebudayaan berperan sebagai rem yang mampu menjadi penyeimbang.
Sumbangan Unja dalam bidang kebudayaan adalah berupa sumbangan akademis, misalnya sumbangan dalam bentuk kerja sama dengan Bappeda dalam perencanaan pembangunan. Hanya saja, di Provinsi Jambi, justru Bappeda tidak merekrut inspirasi-inspirasi akdemis dari Unja tetapi justra merekrut pengajar Unja sebagai birokrat di lembaga bersangkutan.
Sumbangan yang dalam arti politis di tingkat pusat, tingkat nasional belum sebesar universitas-universitas lain di Jawa. Barangkali hal ini disebabkan cara berpikir Unja yang lain. Dalam soal ekonomi, UGM misalnya, lebih berorientasi desa, UGM lebih menggarap masalah-masalah pedesaan, lebih memikirkan bisnis menengah dan bisnis kecil, sedangkan UI lebih memikirkan bisnis yang besar-besar. Keadaan ini agaknya lebih disebabkan perbedaan latar belakang sosial politik, fisik, demokrasi, dan etnis, atau karena perbedaan style.
Bagaimana keterlibatn Unja dalam kegiatan kebudayaan? Di Universitas Jambi belum ada pemikiran-pemikiran kebudayaan, begitu pula kegiatan-kegiatan kebudayaan yang mengundang perhatian “dunia”. Dalam festival dan kegiatan kesenian masih bersifat insidental, masih untuk konsumsi sivitas akademika-- kalaupun pada bulan Juli 2008 yang lalu diadakan Peksiminas (Pekan Seni Mahasiswa Nasional), secara formal adalah kegiatan kerjasama perguruan tinggi di Jambi--.
Agaknya, hal ini dapat dimaklumi. Unja belum memiliki program studi seni, alih-alih fakultas kebudayaan. Secara akademis, untuk ranah kebudayaan dan kesenian, Unja belum memiliki institusi atau pun perahu. Begitu pula di Provinsi Jambi, sehingga pembangunan di bidang yang satu ini kita jauh tertinggal. Dibukannya program studi seni atau fakultas sastra dan kebudayaan di Unja atau sekolah-sekolah seni di Provinsi Jambi adalah solusi yang urgen, bila ingin pembangunan tentang seni dan budaya dapat berjalan secara ajeg. Fungsi Kebudayaan sebagai penyeimbang akan terwujud bila pembangunan kebudayaan dilakukan secara terencana dengan mempertimbangkan aspek akedemisnya.
___________________________________________
*) Maizar Karim Elha, Pengajar Jurusan PBS FKIP Unja;
Kamis, 26 Februari 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar