Ruang Opini
KITA PERLU RENSTRA
PENGEMBANGAN KEBUDAYAAN MELAYU JAMBI
Oleh Maizar Karim Elha*)
Ketika mengikuti Rapat Koordinasi Penelitian dan Pengembangan Daerah (Rakorlitbangda), 22 Desember 2008, saya terkesima mendengar paparan Dr. Heriyandi Roni, M.Si (Bapedda Provinsi Jambi) bahwa untuk periode 2010—2015 Pemprov Jambi dalam RPJM (Rencana Pembangunan Jangka Mendengah)-nya tidak memprioritaskan pengembangan kebudayaan. Lebih terkesima lagi saya, ketika dia menyatakan bahwa pengembangan kebudayaan adalah tanggung jawab pemerintah kota dan/atau pemerintah kabupaten. Pemprov hanya memprioritaskan empat bidang, yaitu: bidang pendidikan atau SDM, bidang pertanian, bidang kesehatan dan lingkungan, dan bidang koperasi dan UKM.
Empat pembicara (dari Bappeda Prov. Jambi) yang menguraikan permasalahan dan prioritas empat bidang yang diprioritaskan untuk RPJM di atas, tak ’sekali’ pun kosa kata ”kebudayaan” yang terlontar. Terkesan filosofi RPJM Pemprov tahun 2010—2015 adalah materialisme dan pragmatisme, jauh dari filosofi Pancasila, apalagi filosofi idealisme.
Hal ihwal ini sangat mencemaskan saya. Prioritas bidang pendidikan atau SDM, mungkin sudah mencakup pembinaan kebudayaan, tetapi bukan berarti atau bermakna pengembangan kebudayaan. Pembinaan kebudayaan terfokus pada manusianya, sedangkan pengembangan kebudayaan berkaitan dengan karya-karya budaya, baik budaya material maupun budaya spiritual.
Kenyataan menunjukkan bahwa karya-karya budaya kita tidak begitu terurus. Karya budaya material Melayu yang masih tersisa sedang menunggu kepunahan. Begitu pula karya-karya budaya spiritual Melayu semakin lama semakin mendekati kuburnya atau lenyap. Hal ini akan menggiring kita kepada suatu masa kehilangan identitas, kehilangan jati diri. Bila kita kehilangan identitas dan jati diri, maka pada gilirannya kita akan kehilangan harga diri. Apalagi di tengah derasnya arus globalisasi, budaya-budaya yang dominan dari negeri asing akan menghimpit kita, kita terperangkap ke dalam lingkaran budaya ”lain” yang tidak adaptif dengan budaya yang dimiliki oleh leluhur kita. Pengembangan kebudayaan yang khas-kita, bukan berarti kita harus fanatis perenialistis. Kita bisa saja rekonstruktif, tetapi kita tetap memiliki atau tidak kehilangan identitas atau jati diri. Kebanggaan sebagai manusia atau komunitas Melayu harus tetap kita pupuk, bila kita ingin tetap memiliki martabat.
Kesadaran akan budaya sendiri dan keanekaragaman budaya lokal pada umumnya kian menipis karena perkembangan budaya di dunia semakin dipengaruhi oleh tuntutan-tuntutan praktis-pragmatis untuk segera dapat memperoleh kebutuhan-kebutuhan pokoknya. Yang kini dianggap kebutuhan pokok itu adalah pangan, papan, sandang, dan informasi. Namun perlu diperhatikan pula bahwa arena produksi, pemasaran (pariwisata dan distribusi), serta konsumsi keempat kebutuhan pokok tersebut tidak luput dari berbagai rekayasa, baik yang berdampak positif maupun negatif, sehingga batas antara kebutuhan yang benar-benar memenuhi hajat hidup dan yang sebenarnya dapat dikesampingkan menjadi kabur.
Dalam konteks itulah kita harus melihat pula akibat dari dominasi produksi dan penyebarluasan informasi oleh negara-negara ’kuat’ tertentu, yang membawa serta dan menanamkan nilai-nilai budayanya. Yang menjadi masalah adalah bahwa rakyat kebanyakan di pihak penerima tidak menyadari adanya penetrasi budaya tersebut, dan menganggap apa pun yang diterimanya adalah ’bahan ajar’ yang membawa kepada ’kemajuan’.
Dalam situasi yang terbentuk karena itu, budaya yang diinformasikan secara kuat itu dianggap atau didesakkan untuk dianggap sebagai budaya ”mainstream” dunia, sedangkan budaya-budaya lain yang amat sangat lebih banyak di dunia ini menjadi terpinggirkan. Situasi inilah yang membawa organisasi-organisasi dunia tertentu, seperti UNESCO dan Non-Blok, selalu melontarkan resolusi-resolusi agar semua kebudayaan di dunia ini melestarikan jati dirinya.
Jambi, sebagai salah satu kelompok etnis Melayu berada dalam lingkaran tersebut. Bila tidak ada usaha pembinaan dan pengembangan budaya Melayu Jambi secara terencana dan intensif, baik secara horizontal maupun vertikal, maka kita akan terbawa arus, hingga sampai ke ”lubuk dalam” yang kita sendiri tidak tahu lagi siapa kita. Kita sudah tidak memiliki penanda lagi. Kita dan budaya kita terbenam tak berriak.
Kebudayaan Melayu Jambi adalah hasil kegiatan dan penciptaan batin, yakni akal budi manusia atau masyarakat Melayu, seperti adat istiadat, kepercayaan, kesenian, dan lain-lain yang serupa. Umumnya hasil kegiatan akal budi manusia di kebanyakan daerah, hadir berupa adat-istiadat yang didasarkan atas ajaran agama. Karena itu pula agaknya yang melahirkan ungkapan dalam alam budaya Melayu Jambi: ”Adat bersendi syarak, syarak bersendi kitabullah. Kitab Allah yang mengatakan, adat yang memakai (menerapkannya).”
Demikiankianlah, kebudayaan adalah landasan pengukuh kesadaran jati diri masyarakat atau daerah atau bangsa, maka betapapun dinamisnya kehidupan budaya suatu masyakarat dan bangsa dalam interaksinya dengan budaya asing, gejala keterasingan terhadap nilai-nilai budayua sendiri perlu dihindarkan. Masalah ini sudah lama menjadi perhatian UNESCO, yang kemudian mengusulkan perlunya PBB mencanangkan satu dasawarsa khusus untuk diisi dengan ikhtiar pengembangan kebudayaan bangsa-bangsa atau kebudayaan lokal.
Hal tersebut jelas bertujuan untuk memperkukuh ketahanan budaya bangsa atau daerah tertentu. Akan tetapi, di negeri ini (Melayu Jambi), kita belum atau tidak mampu mencegah terjadinya arus pengaruh sepihak akibat terpaan proses pembudayaan yang berasal dari pusat-pusat global. Kalau inferioritas budaya kita dan ketimpangan dalam pertemuan antarbudaya ini sebagai akibat arus informasi yang berlangsung satu arah, kita perlu membuat antisipasi tentang kemungkinan bangkitnya gejala alienasi budaya disertai distorsi nilai-nilainya. Pembinaan dan pengembangan kebudayaan kita yang adiluhung harus dilakukan secara serius.
Agaknya, begitu pulalah yang dihadapi oleh manusia dan kemanusiaan dewasa ini, yang akhirnya mungkin akan bermuara pada krisis nilai-nilai budaya serta goyahnya norma-norma konformisme dalam kehidupan bermasyarakat. Proses pembudayaan yang menerpa secara bertubi-tubi dan sepihak itu niscaya pada saatnya akan menghentakkan kesadaran kita yang terhanyut olehnya untuk berusaha menggali dan menemukan kembali makna kesejatian eksistensi kita sebagai manusia.
Tentu saja, kebudayaan kita akan semakin terpuruk, bila kita yang empunya kebudayaan itu sendiri tidak menyadari akan peranan kebudayaan sebagai media dan sumber pengukuhan jati diri dan pemerkaya spiritual manusia. Perhatian yang sungguh-sungguh terhadap pembinanan dan pengembangan kebudayaan adalah sesuatu yang niscaya, bila kita tidak mau terjebak ke dalam lingkaran dehumanisasi.
Bila kita kembali menengok Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) Pemprov Jambi untuk tahun 2010—2015 seperti ditawarkan Beppeda Provinsi Jambi di awal tulisan ini, maka upaya pembinaan dan pengembangan kebudayaan Melayu Jambi tidak bisa hanya diserahkan kepada pemerintah kota atau pemerintah kabupaten. Memang setiap manusia atau setiap komunitas punya tenggung jawab yang penuh, tetapi pemerintah provinsi lebih bertanggung jawab lagi. Pemerintah provinsi perlu membuat rencana strategis dalam membina dan mengembangkan kebudayaan di daerahnya. Dan hal ini harus dicantumkan secara eksplisit dalan rencana pembangunan jangka pendek, menengah, dan panjang. Semoga.
___________________
*) Maizar Karim Elha, Ketua Pusat Penelitian Budaya Melayu,
Lembaga Penelitian Universitas Jambi;
Ketua Asosiasi Tradisi Lisan Melayu Jambi.
Kamis, 26 Februari 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar