Kamis, 26 Februari 2009

Mengubah Melayu

Ruang Opini

MENGUBAH MELAYU SECARA TERMINOLOGIS
Oleh Maizar Karim Elha*)
Di berbagai forum diskusi, sampai saat ini, terminologi (istilah) Melayu masih selalu dibicarakan orang. Pada seminar Revitalisasi Budaya Melayu di Tanjung Pinang, Kepulauan Riau, yang berlangsung pada tanggal 16—17 Desember 2008 yang lalu, istilah Melayu ini menjadi bahan pembicaraan yang hangat. Dua mazhab pemikiran muncul ke permukaan. Mazhab pertama menyatakan bahwa Melayu adalah manusia atau masyarakat yang berbudaya Melayu yang dipelihara oleh peradaban Islam. Mazhab kedua menyatakan bahwa: “Pernyataan Melayu yang mengisyaratkan harus Islam adalah sesuatu yang menyesatkan.” Mazhab pertama ditandai oleh ungkapan adat: “Adat bersendi syarak, syarak bersendi kitabullah”, yang berpegang kepada Al-Quran dan Al-Hadis, yang menurut sloko adat Jambi: “Cermin gedang yang tiado kabur, lantak dalam yang tiado goyah.” Sedangkan mazhab kedua, berdasarkan kajian-kajian metode sejarah, disiplin arkeologi, dan antropologi budaya.
Perbedaan pendapat tentang apa itu Melayu merupakan wacana klasik yang sangat relevan dalam arus globalisasi. Dalam era ini Melayu sebagi identitas orang-orang Melayu akan dapat menjadi penanda kepribadian yang layak dibanggakan. Dengan demikian, berbagai perbedaan konsep dan sudut pandang dalam melihat Melayu akan menjadi sesuatu yang niscaya. Soalnya, kalau suatu komunitas tidak memiliki identitas, maka pada gilirannya komunitas itu tidak memiliki martabat.
Dalam melihat Melayu sebagai identitas, para pengamat mengalami berbagai pengaruh, antara lain: pengaruh sejarah, agama, fanatisme ras, batas-batas geografis, dan afiliasi politik. Kondisi lingkungan dan afiliasi seseorang pada hal-hal tertetu mempengaruhi konsepsinya dalam melihat dan memaknai Melayu, sehingga nilai subjektivitasnya lebih mengemuka. Dominasi subjektivitas ini biasanya menggiring kita kepada konsepsi-konsepsi yang sempit. Dikatakan demikian, bila yang mendefinisikan Melayu itu penganut agama Islam, maka Melayu adalah Islam. Jika yang berbicara itu orang Riau, maka Melayu itu didefinisikan sebagai Riau; jika yang berbicara berasal dari Malaka, maka Melayu adalah Malaka; begitu pula Jambi, dan seterusnya.
Seiring dengan pemikiran di atas berbagai kelompok etnis Melayu di Nusantara pun merealisasikan konsepsinya melalui konstitusi, yang memiliki legalitas yang tinggi. Dengan demikian, muncullah konsep formal tentang Melayu, misalnya, apa yang dikatakan orang Melayu ialah orang atau komunitas berbahasa Melayu, beragama Islam, dan beradat Melayu, seperti yang dirumuskan oleh komunitas Melayu Riau, komunitas Melayu Malaysia, dan komunitas Melayu Jambi. Penandaan-penandaan seperti ini jelas masih bersifat mikro. Terminologi yang bersifat mikro ini, masih sangat dibatasi oleh sekat-sekat tertentu, seperti sekat agama, sekat adat-istiadat, sekat geografis, sekat afiliasi politik, dan lain sebagainya.
Memang, sejauh ini, umumnya orang berasumsi bahwa untuk mendefinisikan Melayu harus menyandingkan etnisitas Melayu dan agama Islam secara sejajar. Padahal, secara metafisik atau ontologis, kemelayuan dan keislaman merupakan dua dimensi yang berbeda. Kelompok etnis Melayu di satu pihak merupakan kumpulan individu-individu yang hidup di suatu tempat dan membentuk struktur sosial. Islam di pihak lain adalah agama yang dianut oleh sebagian besar masyarakat Melayu untuk menjalin hubungan dengan Tuhan. Yang pertama menciptakan hubungan horizontal, sedangkan yang kedua adalah hubungan vertikal. Jadi, jika definisi Melayu dibatasi pada identitas etnik dan agama, akan menciptakan posisi yang tumpang tindih antara agama sebagai sistem kepercayaan yang bersifat individual dan etnisitas sebagai struktur sosial.
Konsepsi yang bersifat mikro itu akan berpotensi memperlebar jurang keterpisahan atau cerai berainya puak-puak Melayu di dunia. Padahal identitas Melayu memiliki potensi menumbuhkan kesadaran bahwa seluruh puak Melayu di dunia adalah saudara serumpun. Identitas Melayu itu pula pada hakikatnya mampu mempersatukan kembali puak-puak Melayu yang telah terkutai-kutai akibat politik pecah-belah pemerintah kolonial. Dengan semangat Melayu itu pula sebenarnya kita dapat mengoptimalkan potensi bangsa Melayu, baik secara kualitas maupun kuantitas dalam menghadapi perkembangan global, sehingga menjadi bangsa yang mandiri dan mampu bersaing.
Agaknya, sudah saatnya, terminologi Melayu yang bersifat mikto itu direkonstruksi secara makro melalui paradigma yang bersifat holistik dan komprehensif. Secara makro, agaknya, Melayu dapat didefinisikan sebagai berikut: orang Melayu adalah manusia atau komunitas yang pernah dan/atau masih mempraktikkan budaya Melayu. Manusia dan komunitas ini bisa berada di mana pun di dunia ini, tanpa dibatasi agama yang dianutnya, ras, bahasa, geografi, dan afiliasi politik lainnya (bdk. Al-Mudra, 2008).
Dengan definisi yang bersifat makro ini, diharapkan dapat mengakomodasi berbagai aspek sejarah, budaya, agama, ras, dan bahasa dalam satu bingkai pengertian yang utuh. Bila hal ini dilakukan, maka seluruh puak Melayu di dunia dapat diakui identitasnya sebagai orang Melayu, yang pada gilirannya akan lahir Melayu Raya.
Untuk mendukung konsepsi ini, mari kita melihat jauh ke belakang. Bila kita balik-balik buku sejarah, kenyataan menunjukkan bahwa bangsa Melayu adalah bahagian dari arus perpindahan manusia yang bergerak di zaman lampau, bergerak dari bagian Timur Eropa Tengah dan bagian Utara wilayah Balkan sekitar Laut Hitam ke arah timur mencapai Asia, masuk ke Tiongkok. Dan di Tiongkok arus perpindahan ini bercabang-cabang ke utara, timur, dan selatan. Arus selatan mencapai daerah Yunan, sedang bagian timur mencapai laut Indo Cina. Di sinilah tempat lahirnya budaya Melayu, yang dikenal dengan daerah Dongson. Nenek moyang Dongson inilah yang bergerak ke Selatan, dan kemudian mencapai Nusantara (lihat Lubis dalam Sarjono, 1999).
Dalam perkembangannya di Nusantara, berdasarkan kesamaan sejarah dan budaya, secara umum, identitas bangsa Melayu hingga saat ini mengalami tonggak-tonggak dan fase-fase sejarah, yaitu fase Pra Hindu-Budha, fase Hindu-Budha, fase Islam, dan fase kolonialisme. Keempat fase ini berada dalam frame sejarah peradaban bangsa Melayu dan telah membentuk identitas dan kepribadian mereka secara umum. Namun, perbedaan-perbedaan corak kebudayaan antarsuku bangsa Melayu menunjukkan adanya tingkat keterpengaruhan yang berbeda-beda dari setiap fase sejarah itu. Ada suku bangsa Melayu yang kuat tradisi Islam atau Kristennya, namun ada juga yang tetap menjaga tradisi Hindu-Budha atau dinamisme-animisme.
Tak dapat disangkal, memang, mayoritas masyarakat Melayu telah memeluk agama Islam berkat keberhasilan para misionaris Islam di Nusantara sejak abad ke-11. Akan tetapi, tidak dapat dinafikan bahwa di kawasan tertentu terdapat masyarakat atau komunitas Melayu yang tidak memeluk agama Islam, seperti masyarakat Melayu SoE, Nusa Tenggara Timur yang mayoritas beragama Kristen, dan komunitas Melayu di daerah-daerah pedalaman Riau dan Jambi, seperti Talang Mamak, Sakai, dan Kubu (Suku Anak Dalam) yang masih menganut tradisi animisme-dinamisme. Perbedaan-perbedaan keyakinan tersebut tidak serta merta mengeliminasi komunitas Melayu tertentu dari identitas utamanya (Melayu), karena akar perbedaan mereka tumbuh secara alami atas pengaruh perjalanan sejarah, kondisi lingkungan, dan hasil interaksi dengan bahasa dan budaya lain (lihat juga Al-Mudra, 2008).
Membaca kenyataan sejarah dan membaca realitas objektif itu, maka tawaran terminologi yang bersifat makro adalah sesuatu yang relevan. Terminologi yang bertolak dari kajian yang bersifat komprehensif dan mengikis sekat-sekat agama, bahasa, geografis, dan afiliasi politk ini, sangat efektif untuk mengakomodasikan dan menyatukan seluruh puak Melayu di dinia.

_____________________________
Maizar Karim Elha, Ketua Pusat Penelitian Budaya Melayu,
Lembaga Penelitian Universitas Jambi; Ketua Asosiasi Tradisi Lisan
Melayu Jambi

Tidak ada komentar:

Posting Komentar