Kamis, 26 Februari 2009

Biodata Maizar

DATA PRIBADI

Nama : Dr. Maizar Karim, M.Hum
Tempat, Tgl. Lahir : Desa Sirih Sekapur, Kecamatan Jujuhan, Kabupaten Bungo, Provinsi Jambi; 18 Mei 1962
Jenis Kelamin : Laki-laki
Agama : Islam
Alamat : Komp. Beliung Indah Blok E Nomor 16 RT 11, Kelurahan Beliung, Kecamatan Kota baru, Kota Jambi.
Telp./Hp : (0741) 667421; 081366707634
E-mail : (1) mazka62@yahoo.com
(2) maizarkarim@gmail.com
Bloger : http://maizarkarim.blogspot.com
Riwayat Pendidikan:

No.
Pendidikan
Tahun Tamat
Tempat
1
SD 46/II Sirih Sekapur
1974
Desa Sirih Sekapur
2
SMP Rantau Ikil (Jujuhan) dan SMP 7 Padang
1977
Rantau Ikil (Jujuhan) dan Kota Padang
3
SMA-PGRI Padang
1981
Padang
4
S1, Fakultas Ekonomi Univ. Bung Hatta
1981-1982 (tidak selesai)
Padang
5
S1, FPBS IKIP
1986
Padang
6
S2, Ilmu Sastra, Bidang Ilmu: Filologi, Program Pascasarjana Unpad
1994
Bandung
7
S3, Ilmu Sastra, Bidang Ilmu: Filologi, Program Pascasarjana Unpad
2007
Bandung

Riwayat Pekerjaan

No.
Pekerjaan
Tahun
Tempat
1
Guru SMA Baiturrahmah
1986-1987
Padang
2
Dosen Luar Biasa:
(1) Fakultas Tarbiyah IAIN Sultan Taha Syaifuddin
(2) FKIP Univ. Batanghari

1987-1989

1987-1991

Jambi

Jambi
3
(1) Guru SMP PGRI 4
(2) Guru SMA Yayasan Purnama
1987-1990
1987-1999
Jambi
Jambi

4
Dosen Tetap FKIP Univ. Jambi
1988 – sekarang
Jambi





Riwayat Organisasi dan Kepanitiaan

No.
Organisasi
Jabatan
Tahun
1
Penerbitan Buletin Sekolah SMA-PGRI “Percik”
Pemimpin Redaksi
1979-1981
2
HIMA (Himpunan Mahasiswa) Jurusan Bahasa Indonesia FPBS IKIP Padang
Wk. Ketua
1984-1986
3
BPM (Badan Perwakilan Mahasiswa) FPBS IKIP Padang
Sekretaris
1984-1986
4
HMSSB (Himpunan Mahasiswa Sastra Sumatera Barat)
Wk. Ketua
1985-1987
5
MPBI (Masyarakat Pencinta Budaya Indonesia) Provinsi Jambi
Ketua
1988-1992

6
FKSJ (Forum Komunikasi Seniman Jambi)
Sekretaris
1988-1992
7
LKMBJ (Lembaga Kajian Bahasa Melayu Jambi)
Ketua
1989-1992
8
HISKI (Himpunan Sarjana Kesusastraan Indonesia) Pengda Provinsi Jambi
Ketua
1998-2006
9
Manassa (Masyarakat Pernaskahan Nusantara) Cabang Jambi
Ketua
1999-2007
10
Dewan Kesenian Jambi
Sekretaris
1998-2001
11
Jurusan PBS FKIP Unja
Sekretaris Jurusan
1989-1999
12
Jurusan PBS FKIP Unja
Ketua Jurusan
1999-2002
13
Pusat Penelitian Budaya Melayu, Lembaga Penelitian Univ. Jambi
Ketua
2006-2008
14
Lembaga Adat Melayu Provinsi Jambi
Ketua Bagian Pariwisata
2006—2010
15
ATL (Asosiasi Tradisi Lisan) Melayu Jambi
Ketua
2007-2010
16
Unit Program Pendidikan Masyarakat, LPM Unja
Ketua
2008-
17
Program Peningkatan Kualifikasi Guru SMP, LPTK Unibversitas Jambi
Ketua
2007-
8
Program Sertifikasi Guru Jalur Pendidikan SMP Bidang Studi Bahasa Indonesia
Wk. Koordinator
2007-
9
Panitia Lomba Puisi SMTA dan Perguruan Tinggi Se-Sumatera Barat
Ketua
1995
10
Panitia lomba Baca Puisi SD-SMP, SMA-Perguruan Tinggi Se-Provinsi Jambi
Ketua
1998
11
Panitia Pekan Seni dan Dialog Budaya Se-Provinsi Jambi
Ketua
2000

12
Temu Sastrawan Indonesia I di Jambi
Wk ketua
2008
13
Peksiminas (Pekan Seni Mahasiswa Nasional) IX di Jambi
Ketua
2008


Karya Tulis: Artikel Popular, Karya Sastra, Penelitian

No.
Judul
Sifat
Publikasi/Tahun
1
Dicari: Profil Mahasiswa Intelek
Arikel Populer
S.K. Singgalang, 16 Mei 1982
2
Penipisan Nilai-nilai
s.d.a
S.K. Singgalang, 19 Februari 1984
3
Catatan Ringan Buat Drs. Amir B: Harmonisasi Ilmu Pengetahuan Modern dengan Agama, Dapatkah?
s.d.a.
S.k Singgalang, 20 Maret 1983
4
Sekunderisasi Moral Akibat ‘Penjajahan Kebudayaan’
s.d.a.
S.K. Singgalang, 14 November 1982.
5
Aspek Spiritual dalam Gejala Sosial
s.d.a.
S.K. Singgalang, 22 Agustus 1982
6
Agama Merupakan Metode Tuhan dalam Pengendalian Diri Anak Muda
s.d.a.
S.K. Singgalang, 4 Juli 1982
7
Menyongsong 37 Th Proklamasi Kemerdekaan RI: Tindakan Revolusioner dalam Mengisi Kemerdekaan Kita
s.d.a.
S.K. Semangat, 7 Agustus 1982
8
Gambaran Diri Mahasiswa
s.d.a.
S.K. Semangat, 25 September 1982
9
Demokrasi, Jantung Kehidupan Masyarakat
s.d.a.
S.K. Singgalang, 2 Mei 1982
10
Ideologi dan Pendidikan Mental
s.d.a.
S.K. Semangat, 21 Agustus 1982
11
Tanggapan atas Tulisan Dasril Ahmad: Kebutuhan Eksistensial Manusia
s.d.a.
S.K. Singgalang, 13 Februari 1983
12
Ide Demokrasi, Cerita Lama
s.d.a.
S.K. Semangat, 23 Oktober 1982
13
Sketsa Mahasiswa: Amrun telah Berubah
s.d.a.
S.K. Singgalang, 29 Januari 1984
14
Pembentukan Moral yang Baik
s.d.a.
S.K. Semangat, 9 Oktober 1982
15
Perang Tuding Dosen Versus Mahasiswa
s.d.a.
S.K. Semangat, 6 November 1982
16
Menyingkapi Pertanyaan Fachrul Rasyid HF: “Pendidikan Politik atau Politik Pendidikan?”
s.d.a.
S.K. Singgalang, 13 Juni 1982
17
Catatan Kecil tentang Generasi Muda
s.d.a.
S.K. Singgalang, 13 April 1982
18
Percakapan dengan Pak Imam: “Bapak telah Hidup dalam Tiga Zaman, Nak!”
s.d.a.
S.K. Singgalang, 30 Mei 1982
19
Amrun Korban Ketidakadilan dan Masalah Kemanusiaan
s.d.a.
S.K. Singgalang, 19 Februari 1984
20
Satu Sintesa Buat Amrun
s.d.a.
S.K. Singgalang, 12 Februari 1984
21
Sketsa Mahasiswa: Amrun Mendaftar Kembali
s.d.a.
S.K. Singgalang, 5 Februari 1984
22
Catatan Kecil Buat Aktivis Kampus
s.d.a.
S.K. Singgalang, 12 Februari 1984
23
Tanggapan atas Tanggapan Emeraldi Chatra: Teknologi dalam Perspektif Spiritual Kaum Muda
s.d.a.
S.K. Singgalang, 17 Juli 1982
24
‘Keberadaan’ Pemuda Kini
s.d.a
S.K. Singgalang, 27 Februari 1983
25
Aktivitas Membaca Mhs. Bahasa Indonesia FPBS IKIP Padang
s.d.a.
S.K. Singgalang, 8 Mei 1983
26
Spiritual Generasi Muda dalam Ancaman
s.d.a.
S.K. Singgalang, 27 Juni 1982
27
Ini Proses Pembodohan Generasi
s.d.a.
S.K. Singgalang, 8 Agustus 1982
28
Regenerasi dan Pewarisan Nilai-nilai
s.d.a.
S.K. Singgalang, 18 April 1982
29
Gempa
Cerpen
S.K. Haluan, 3 April 1980
30
Surat buat ayah, disampaikan oleh anak keenam dari sepuluh bersaudara
Puisi
S.K. Haluan,1980
31
Surat Buat Yusnelita Disampaikan Seorang Yang Dahaga
Puisi
S.k. Singgalan, 1981
32
Surat Buat Yusnelita, Disampaikan Oleh Seorang Yang Terluka
Puisi
S.K. Singgalang, 1981
33
Watak Impersonal Sajak-sajak Penyair Jambi
Esai dan Kritik Sastra
S.K. Merdeka Minggu Ketiga Januari 1983
34
Dunia Puisi Dunia Partikular: Catatan atas Sajak-sajak Gita Ramadhona dan Catur Agus Riyanto
s.d.a.
S.K. Jambi Ekspres, 29 April 2001
34
Gazali Burhan, Mencintai Kelembutan
s.d.a.
S.K. Independent, 27 Juni 1999 dan 4 Juli 1999
35
“Jempiol” Acep Syahril: Absurditas Kehidupan
s.d.a.
S.K.Independent, 10 Maret 1996
36
Opus, Lingkungan Hidup dan kata-kata Abstrak
s.d.a.
S.K. Independent, 30 Juni 1996
37
Posisi Perempuan dalam Mentora
s.d.a.
S.K. Jambi Ekspres, 8 Agustus 1999
38
Istana Bunga Firdaus; Sebuah Pertimbangan
s.d.a.
S.K. Independent, 25 Oktober 1998
39
Senandung Kecil Feminimisme
s.d.a.
S.K.Jambi Ekspres, 11 Juni 2000 dan 18 Juni 2000
40
Warna Lokal dalam Sajak Penyair Jambi
s.d.a.
S.K. Independent, 27 Januari 1995
41
Soco: Sebuah Keprihatinan Kultural
s.d.a.
S.K. Jambi Ekspres, 15 April 2001
42
Simbolisme Menggugat Jalan Setapak
s.d.a.
S.K. Independent, 18 Juni 2000
43
Pentas Matahari yang mengerucut: sebuah kontra mitos
s.d.a.
S.K. Independent, 12 Maret 2000
44
Pergelaran Deirdre, Fenomena Baru?
s.d.a.
S.K. Independent, 19 Mei 1999
45
Sketsa Penderitaan dalam Sajak EM Yogiswara
s.d.a.
S.K. Independent, 3 Februari 1996
46
Perjalanan Malam: Imajik yang Total
s.d.a.
S.K. Independent, 14 Juli 1996
47
Dzikir Cinta Ahmad Rodhi: Pembedahan Fenomenologis
s.d.a.
S.K. Independent, 31 Mei 1998 dan 7 Juni 1998
48
Keberadaan Sastra dan Kepenyairan di Jambi
s.d.a.
S.K. Independent, 1 September 1996; 8 Sept. 1996; 15 Sept. 1996; 22 Sept. 1996; 29 Sept. 1996; 6 Okt. 1996; 13 Okt. 1996
49
Pertentangan Dua Dunia
s.d.a.
SK. Independent, 5 Januari 1997
50
Membedah Puisi Empat Penyair Dalam “Pusaran Waktu”
s.d.a.
S.K. Independent, Edisi 23 Feb—2 Maret 1995
51
Ketakberdayaan dalam Sajak M. Chudori
s.d.a.
S.K. Independent, 10 November 1996
52
ODE, Antologi Sastrawan Sumbagsel: Sajak-sajak Reformasi, Puisi Terlibat
s.d.a.
S.K. Independent, 20 Desember 1998
53
Percik Pesona: Watak Personal dan Impersonal
s.d.a.
S.K. Independent, ?
54
Dimensi dan Proporsi Kritikus Seni
s.d.a.
S.K. Jambi Ekspres, 6 April 2003
55
Memaknai Kemerdekaan (Sebuah Refleksi)
Artikel Populer
S.K. Media Jambi, 18-24 Agustus 2003
56
Catatan atas Tulisan Dr. Sudaryono, M.Pd: Kita Kehilangan Poetika
Esai dan Kritik Sastra
S.K. Jambi Ekspres, 26 Januari 2003
57
Satu Penyair Dua Versi (Catatan Kumpulan Sajak Ary Mhs Ce’gu)
s.d.a.
S.K. Independent, 5 Juli 1998
58
Bahasa Indonesia dalam Media Massa
Artikel Ilmiah Populer
S.K. S.K. Independent, 28 Januari 2001
59
Orang Kayo Hitam di Perspektif Sastra
s.d.a.
S.K. Jambi Ekspres, 11 Juni 1999
60
Sebuah Interpretasi Psikologikal; Sila-sila Keturunan Raja Jambi
s.d.a.
S.K. Jambi Independent, 29 Juli 2002
61
Wajah Pendidikan Jambi
s.d.a.
S.K. Jambi Ekspres, 16 November 2000
62
Zaman Gemilang Susastra Kita
s.d.a.
S.K. Ampera, Minggu Kedua Juni 1996
63
Kenapa Bahasa Sastra Menyimpang?
s.d.a.
S.K. Independent, 22 November 1998
64
Yang tercecer dari festival dan dialog sastra 1997: Memantau Posisi dan Proporsi Sastra di Tengah Masyarakat
s.d.a.
S.K. Independent, 26 Oktober 1997
65
Daya Hidup Koko Bae (Catatan Kenangan)
s.d.a.
S.K. Jambi Ekspres, 3 Maret 2002
66
Les di Sekolah, Bukti Kurikulum Tidak Jalan dan Guru Tidak Profesional
s.d.a.
S.K. Jambi Independent, 30 September 2002
67
Stagnasi Kesenian di Jambi: Sebuah Alternatif Solusi
s.d.a.
S.K. Jambi Ekspres, 15 September 2002
68
Menunggu Godot A La EM Yogiswara
s.d.a.
S.K. Jambi Ekspres, 21 Mei 2000
69
Paradigma Pembelajaran yang Reformatif
s.d.a.
S.K. Independent, 28 Mei 2000
70
Kreativitas Sastra di Jambi Tahun 2001
s.d.a.
S.K. Jambi Ekspres, 26 Desember 2000
71
Universitas Jambi Pascademo
s.d.a.
S.K. Jambi Ekspres, 19 April 2000
72
Beberapa Catatan Orientasi Film Indonesia
s.d.a.
S.K. Independent, 22 Agustus 1999
73
Problematika Pelaksanaan CBSA
s.d.a.
S.K. Independent, 11 Oktober 1996
74
Dicari: Guru Sastra yang Kritikus-Apresiatif
s.d.a.
S.K. Independent, 11 Januari 1998
75
Penertiban Berbahasa Indonesia di Kalangan Warga Keturunan
s.d.a.
S.K. Independent, 29 November 1998
76
Penjelajahan Vertikal
Esai dan Kritik Sastra
S.K. Independent, 26 januari 1997
77
Pemekaran Kosa Kata dalam Tulisan
s.d.a.
S.K. Sriwijaya Post, 11 Maret 1990
78
Kado
Cerpen
S.K. Independent, 28 Desember 1997
79
Taman
Cerpen
S.K. Independent, 8 Juli 1995
80
Kusir
Cerpen
S.K. Independent, 30 September 1995
81
Ziarah
Cerpen
S.K. Independent, 25 Februari 1996
82
Seekor Nyamuk Terperangkap Dalam Kelambu
Puisi
S.K. Independent, 9 Agustus 1998
83
BIS
Cerpen
S.K. Singgalang, ?
84
“Balon”
Cerpen
S.K. Haluan, 24 April 1983
85
Nafas
Puisi
S.K. Sriwijaya Post, 16 Juni 1991
86
Lelaki Itu
Cerpen
S.K. Singgalang, 19 September 1982
87
Pertemuan
Cerpen
S.K. Singgalang, ?
88
Tradisi Menulis Kita
Artikel Populer
S.K. Independent, 4 Mei 1997
89
Catatan untuk Anak Muda: Sebuah Alternatif di Zaman yang Menderas
s.d.a.
S.K. Sriwijaya Post, 24 Oktober 1990
90
Mahasiswa
Kolom
S.K. Independent, 12 Agustus 1995
91
Etika
s.d.a.
S.K. Independent, 26 Agustu 1995
92
Tak Kudengar Lagi; Orang Kayo Hitam; Aku Harus Kembali
Puisi
S.K. Independent, 2 Februari 1997
93
Demonstrasi Mahasiswa Jambi
Artikel Populer
S.K. Independent, 7 Desember 1996
94
Apresiasi Sastra Daerah Jambi
s.d.a.
S.K. Independent, 14 September 1997; 21 September 1997
95
Kematangan Menangkap Inti Hidup
Esai Kritik Sastra
S.K. Jambi Ekspres, 9 Mei 1999
96
Keberadaan Dewan Kesenian Jambi
Artikel Populer
S.K. Independent, 21 April 1996
97
Sastrawan Plus
s.d.a.
S.K. Independent, 24 Maret 1996
98
Keberaksaraan Kita Belum Murni
s.d.a.
S.K. Indepebdent, 6 Juli 1997
99
Catatan bagi Pengaku Penyair: Belum Terlambat untuk Menginsafi Diri
s.d.a.
S.K Sriwijaya Post, 20 Januari 1991
100
Sikap Budaya Melayu dalam Peningkatan Kualitas Hidup Orang Melayu
s.d.a.
S.K. Independent, 30 Desember 1995; 6 Januari 1996; 13 Januari 1996
101
Catatan atas Catatan EM Yogiswara: Seni Budaya Membuat Manusia Menjadi Manusia
s.d.a.
S.K. Jambi Ekspres, 23 Januari 2000
102
Perlukah Kritikus Sastra?
s,d.a.
S.K. Independent, 28 Desember 1999
103
Sikap Berkesenian
s.d.a.
S.K. Independent, 8 Juni 1997
104
Sebuah Introspeksi Tentang Sastra Di Jambi
s.d.a.
S.K. Merdeka, 25 Maret 1990
105
Dicari, Sastrawan Yang Ulama
s.d.a.
S.K. Sriwijaya Post, 18 februari 1990
106
Tantangan Kebudayaan pada Era Global
s.d.a.
S.K. Independent, 10 November 1996
107
Sastra Tradisional di Tengah Gebalau Modernisasi
s.d.a.
S.K. Independent, 4 Agustus 1996
108
Catatan Kecil: Dialog Seni Budaya Jambi
s.d.a.
S.K. Independent, 28 Juni 1998
109
Kontribusi Sastra Melayu Klasik
s.d.a.
S.K. Independent 6 September 1998
110
Pembinaan dan Pengembangan Bahasa dan Sastra Jambi
s.d.a.
S.K. Independent, Maret 1996
111
Telegram: Ketidakmampuan Menghadapi Tradisi
Esai dan kritik Sastra
S.K. Independent, 18 Mei 1997
112
“Sulit” T Wijaya: Renungan Kurang Berkesan
s.d.a.
S.K. Sriwijaya Post, 13 Oktober 1991
113
Sosok Wanita dalam “Kertas Putih”
s.d.a.
S.K. 27 Oktober 1991
114
Novel Olenka: Jembatan Menuju Identitas
s.d.a.
S.K. Sriwijaya Post, 22 September 1991
115
Manusia dalam Krisis Identitas
s.d.a.
S.K. Independent, edisi 23-30 januari 1995
116
Televisi dan Keluarga Kita
Artikel Populer
S.K. Independent, 8 Desember 1996
117
Naskah Melayu Jambi Akankah Selalu dalam Peti?
s.d.a.
S.K. Independent. 23 September 1995
118
OKH dalam perspektif Sastra
s.d.a.
Tabloit Jambi Pos, 11 Oktober 1998
119
Sastra Daerah Jambi dan Fungsinya di Tengah Masyarakat
s.d.a.
S.K. Independent, 17 Juni 1995
120
Upaya Pewarisan Sastra Daerah Jambi
s.d.a.
S.K. Independent, 22 Juli 1995
121
Tipe Kepemimpinan dalam Sastra Rakyat Jambi
s.d.a.
S.K. Independent, 22 Oktober 1996
122
Kenapa Sastra Daerah Jambi Lesu?
s.d.a.
S.K. Independent, 1 Juli 1995
123
Naskah Kuno Melayu Jambi Perlu Penelitian: Surat Sastra Buat Hadiyandra, S.Pd
s.d.a.
S.K. Independent, 21 Oktober 1995; 28 Oktober 1995
124
Re-Interpretasi terhadap Sastra Daerah Jambi
s.d.a.
S.K. Independent, 21 Mei 2000
125
Sastra Kita
Kolom
S.K. Sriwijaya Post, 4 April 1992
126
HNJ Kritik Teks dan Analisis Struktural
Artikel Ilmiah Populer
S.K. Independent, 26 Oktober 1996
127
Citra Wanita dalam Syair Abdul Muluk
s.d.a.
S.K. Independent, 15 Desember 1996; 22 Desember 1996
128
Tanggapan Tulisan Sudirman SY: Sosial Kontrol Mahasiswa Suatu Utopia?
s.d.a.
S.K. Ampera, Minggu II Maret 1989
129
Menguak Identitas Diri dalam Novel Olenka
Esai dan kritik Sastra
S.K. Ampera, Minggu III Agustus 1987
130
“Penculik”
Cerpen
S.K. Haluan, ?
131
Nelli Gadis dalam Mimpi
Cerpen
S.K. Singgalang, ?
132
Lumpur
Cerpen
S.K. Haluan, ?
133
Awas Dekadensi Moral
Artikel Populer
S.K. Ampera, Minggu IV Mei 1989
134
Sebuah Catatan: Keterbelahan Ilmu Pengetahuan dan Agama
s.d.a.
SK. Ampera, Minggu III Maret 1989
134
Fungsi Ganda Guru dan Penipisan Nilai-Nilai
s.d.a.
S.K. Ampera, Minggu IV 1989
135
Melayu Jambi dan Ritus
s.d.a.
S.K. Jambi Ekspres, 3 November 2007
136
Pengukuhan Jati Diri Melayu Jambi
s.d.a.
S.K. Jambi Ekspres, 8 November 2007
137
Malaysia dan Kita: Antara Biadab dan Beradab
s.d.a.
S.K. Jambi Ekspres, 5 September 2007
138
Saatnya Penyair Jambi Mengubah Paradigma
s.d.a.
S.K. Jambi Ekspres, 8 Juli 2007
139
Apologia Sang Penyair: Tanggapan atas Kritik Bung Sudaryono
s.d.a.
S.K. Jambi Ekspres, 29 Juli 2007
140
Membangun Struktur Baru (Menyongsong Lokakarya Internasional Dunia Melayu Dunia Islam)
s.d.a.
S.K. Jambi Ekspres, 23 Agustus 2007
141
Kita Perlu Renstra Pengembangan Kebudayaan Melayu Jambi
s.d.a.
S.K. Jambi Ekspres, 5 Januari 2009
142
Analisis Novel Olenka Karya Budi Darma
Skripsi
Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia, FPBS IKIP Padang, 19996
143
Syair Abdul Muluk: Telaah Filologis
Tesis
Program Pascasarjana Unpad, Bandung, 1994
144
Syair Mambang Jauhari: Telaah Filologis dan Struktural-Semiotik
Disertasi
Program Pascasarjana Unpad Bandung, 2007
145
Puisi Penyair Kerinci Gazali Burhan Riodja: Kajian Struktural-Semiotik
Laporan Penelitian
Lemlit Unja, 2002
146
Manuskrip Sila-sila Keturunan Rajo Jambi: Sebuah Analisis Struktur
Laporan Penelitian
Jurnal Ilmiah Ilmu-ilmu Humaniora “Humanus”, 2000
147
Manuscript Kisah Tan Telanai: Sebuah Analisis Struktural
Laporan Penelitian
Pemberitaan Ilmiah “Percikan”, 2002
148
Perwatakan Tokoh Kisah Raja Empat Puluh: Analisis Struktural
Laporan Penelitian
Pemberitaan Ilmiah “Percikan”, 2002
149
Struktur Cerita dan Karakter Tokoh Cerpen Sepi Karya Putu Wijaya: Kajian Sintagmatik-Paradigmatik
Laporan Penelitian
Jurnal Ilmiah Ilmu-ilmu Humaniora “Humanus”, 2000
150
Karya sastrawan Jambi dalam Peta Sastra
Makalah
Seminar Nasional HISKI, 2002
151
Penanggulangan Anak Jalanan Melalui Pemberdayaan dan Metode Sosial
Makalah
Sosialisasi Penanggulangan Anak Jalanan dan Gepeng, Dinas Sosial &Tenaga Kerja Kota Jambi, 2009
152
Orientasi Kritik Sastra Indonesia
Makalah
Seminar Nasional Temu Sastrawan Indonesia I, 2008.
153
Budaya Melayu Jambi dalam Sistem Pembelajaran
Makalah
FKIP Unja, 2008.
154
Budaya Melayu yang Urgentif
Makalah
Pusat Penelitian Budaya Melayu, 2008


Jambi, 22 Februari 2009

Dr. Maizar Karim, M.Hum
NIP 131788762

Mengubah Melayu

Ruang Opini

MENGUBAH MELAYU SECARA TERMINOLOGIS
Oleh Maizar Karim Elha*)
Di berbagai forum diskusi, sampai saat ini, terminologi (istilah) Melayu masih selalu dibicarakan orang. Pada seminar Revitalisasi Budaya Melayu di Tanjung Pinang, Kepulauan Riau, yang berlangsung pada tanggal 16—17 Desember 2008 yang lalu, istilah Melayu ini menjadi bahan pembicaraan yang hangat. Dua mazhab pemikiran muncul ke permukaan. Mazhab pertama menyatakan bahwa Melayu adalah manusia atau masyarakat yang berbudaya Melayu yang dipelihara oleh peradaban Islam. Mazhab kedua menyatakan bahwa: “Pernyataan Melayu yang mengisyaratkan harus Islam adalah sesuatu yang menyesatkan.” Mazhab pertama ditandai oleh ungkapan adat: “Adat bersendi syarak, syarak bersendi kitabullah”, yang berpegang kepada Al-Quran dan Al-Hadis, yang menurut sloko adat Jambi: “Cermin gedang yang tiado kabur, lantak dalam yang tiado goyah.” Sedangkan mazhab kedua, berdasarkan kajian-kajian metode sejarah, disiplin arkeologi, dan antropologi budaya.
Perbedaan pendapat tentang apa itu Melayu merupakan wacana klasik yang sangat relevan dalam arus globalisasi. Dalam era ini Melayu sebagi identitas orang-orang Melayu akan dapat menjadi penanda kepribadian yang layak dibanggakan. Dengan demikian, berbagai perbedaan konsep dan sudut pandang dalam melihat Melayu akan menjadi sesuatu yang niscaya. Soalnya, kalau suatu komunitas tidak memiliki identitas, maka pada gilirannya komunitas itu tidak memiliki martabat.
Dalam melihat Melayu sebagai identitas, para pengamat mengalami berbagai pengaruh, antara lain: pengaruh sejarah, agama, fanatisme ras, batas-batas geografis, dan afiliasi politik. Kondisi lingkungan dan afiliasi seseorang pada hal-hal tertetu mempengaruhi konsepsinya dalam melihat dan memaknai Melayu, sehingga nilai subjektivitasnya lebih mengemuka. Dominasi subjektivitas ini biasanya menggiring kita kepada konsepsi-konsepsi yang sempit. Dikatakan demikian, bila yang mendefinisikan Melayu itu penganut agama Islam, maka Melayu adalah Islam. Jika yang berbicara itu orang Riau, maka Melayu itu didefinisikan sebagai Riau; jika yang berbicara berasal dari Malaka, maka Melayu adalah Malaka; begitu pula Jambi, dan seterusnya.
Seiring dengan pemikiran di atas berbagai kelompok etnis Melayu di Nusantara pun merealisasikan konsepsinya melalui konstitusi, yang memiliki legalitas yang tinggi. Dengan demikian, muncullah konsep formal tentang Melayu, misalnya, apa yang dikatakan orang Melayu ialah orang atau komunitas berbahasa Melayu, beragama Islam, dan beradat Melayu, seperti yang dirumuskan oleh komunitas Melayu Riau, komunitas Melayu Malaysia, dan komunitas Melayu Jambi. Penandaan-penandaan seperti ini jelas masih bersifat mikro. Terminologi yang bersifat mikro ini, masih sangat dibatasi oleh sekat-sekat tertentu, seperti sekat agama, sekat adat-istiadat, sekat geografis, sekat afiliasi politik, dan lain sebagainya.
Memang, sejauh ini, umumnya orang berasumsi bahwa untuk mendefinisikan Melayu harus menyandingkan etnisitas Melayu dan agama Islam secara sejajar. Padahal, secara metafisik atau ontologis, kemelayuan dan keislaman merupakan dua dimensi yang berbeda. Kelompok etnis Melayu di satu pihak merupakan kumpulan individu-individu yang hidup di suatu tempat dan membentuk struktur sosial. Islam di pihak lain adalah agama yang dianut oleh sebagian besar masyarakat Melayu untuk menjalin hubungan dengan Tuhan. Yang pertama menciptakan hubungan horizontal, sedangkan yang kedua adalah hubungan vertikal. Jadi, jika definisi Melayu dibatasi pada identitas etnik dan agama, akan menciptakan posisi yang tumpang tindih antara agama sebagai sistem kepercayaan yang bersifat individual dan etnisitas sebagai struktur sosial.
Konsepsi yang bersifat mikro itu akan berpotensi memperlebar jurang keterpisahan atau cerai berainya puak-puak Melayu di dunia. Padahal identitas Melayu memiliki potensi menumbuhkan kesadaran bahwa seluruh puak Melayu di dunia adalah saudara serumpun. Identitas Melayu itu pula pada hakikatnya mampu mempersatukan kembali puak-puak Melayu yang telah terkutai-kutai akibat politik pecah-belah pemerintah kolonial. Dengan semangat Melayu itu pula sebenarnya kita dapat mengoptimalkan potensi bangsa Melayu, baik secara kualitas maupun kuantitas dalam menghadapi perkembangan global, sehingga menjadi bangsa yang mandiri dan mampu bersaing.
Agaknya, sudah saatnya, terminologi Melayu yang bersifat mikto itu direkonstruksi secara makro melalui paradigma yang bersifat holistik dan komprehensif. Secara makro, agaknya, Melayu dapat didefinisikan sebagai berikut: orang Melayu adalah manusia atau komunitas yang pernah dan/atau masih mempraktikkan budaya Melayu. Manusia dan komunitas ini bisa berada di mana pun di dunia ini, tanpa dibatasi agama yang dianutnya, ras, bahasa, geografi, dan afiliasi politik lainnya (bdk. Al-Mudra, 2008).
Dengan definisi yang bersifat makro ini, diharapkan dapat mengakomodasi berbagai aspek sejarah, budaya, agama, ras, dan bahasa dalam satu bingkai pengertian yang utuh. Bila hal ini dilakukan, maka seluruh puak Melayu di dunia dapat diakui identitasnya sebagai orang Melayu, yang pada gilirannya akan lahir Melayu Raya.
Untuk mendukung konsepsi ini, mari kita melihat jauh ke belakang. Bila kita balik-balik buku sejarah, kenyataan menunjukkan bahwa bangsa Melayu adalah bahagian dari arus perpindahan manusia yang bergerak di zaman lampau, bergerak dari bagian Timur Eropa Tengah dan bagian Utara wilayah Balkan sekitar Laut Hitam ke arah timur mencapai Asia, masuk ke Tiongkok. Dan di Tiongkok arus perpindahan ini bercabang-cabang ke utara, timur, dan selatan. Arus selatan mencapai daerah Yunan, sedang bagian timur mencapai laut Indo Cina. Di sinilah tempat lahirnya budaya Melayu, yang dikenal dengan daerah Dongson. Nenek moyang Dongson inilah yang bergerak ke Selatan, dan kemudian mencapai Nusantara (lihat Lubis dalam Sarjono, 1999).
Dalam perkembangannya di Nusantara, berdasarkan kesamaan sejarah dan budaya, secara umum, identitas bangsa Melayu hingga saat ini mengalami tonggak-tonggak dan fase-fase sejarah, yaitu fase Pra Hindu-Budha, fase Hindu-Budha, fase Islam, dan fase kolonialisme. Keempat fase ini berada dalam frame sejarah peradaban bangsa Melayu dan telah membentuk identitas dan kepribadian mereka secara umum. Namun, perbedaan-perbedaan corak kebudayaan antarsuku bangsa Melayu menunjukkan adanya tingkat keterpengaruhan yang berbeda-beda dari setiap fase sejarah itu. Ada suku bangsa Melayu yang kuat tradisi Islam atau Kristennya, namun ada juga yang tetap menjaga tradisi Hindu-Budha atau dinamisme-animisme.
Tak dapat disangkal, memang, mayoritas masyarakat Melayu telah memeluk agama Islam berkat keberhasilan para misionaris Islam di Nusantara sejak abad ke-11. Akan tetapi, tidak dapat dinafikan bahwa di kawasan tertentu terdapat masyarakat atau komunitas Melayu yang tidak memeluk agama Islam, seperti masyarakat Melayu SoE, Nusa Tenggara Timur yang mayoritas beragama Kristen, dan komunitas Melayu di daerah-daerah pedalaman Riau dan Jambi, seperti Talang Mamak, Sakai, dan Kubu (Suku Anak Dalam) yang masih menganut tradisi animisme-dinamisme. Perbedaan-perbedaan keyakinan tersebut tidak serta merta mengeliminasi komunitas Melayu tertentu dari identitas utamanya (Melayu), karena akar perbedaan mereka tumbuh secara alami atas pengaruh perjalanan sejarah, kondisi lingkungan, dan hasil interaksi dengan bahasa dan budaya lain (lihat juga Al-Mudra, 2008).
Membaca kenyataan sejarah dan membaca realitas objektif itu, maka tawaran terminologi yang bersifat makro adalah sesuatu yang relevan. Terminologi yang bertolak dari kajian yang bersifat komprehensif dan mengikis sekat-sekat agama, bahasa, geografis, dan afiliasi politk ini, sangat efektif untuk mengakomodasikan dan menyatukan seluruh puak Melayu di dinia.

_____________________________
Maizar Karim Elha, Ketua Pusat Penelitian Budaya Melayu,
Lembaga Penelitian Universitas Jambi; Ketua Asosiasi Tradisi Lisan
Melayu Jambi

Peran Budaya Unja

Ruang Opin:i

PERANAN BUDAYA UNIVERSITAS JAMBI
Oleh Maizar Karim Elha*)

Universitas Jambi (Unja) adalah satu-satunya universitas negeri di Melayu Jambi. Ia tidak melihat dirinya sebagai bagian yang terpisah dari kebudayaan negerinya dan juga kebudayaan sekitarnya. Ia tidak melihat dirinya sebagai dunia terpencil dalam masyarakatnya. Unja juga menyadari bahwa ia adalah sebagai bagian dari kebudayaan suatu negara. Karena itu, Unja tidak mau menjadi universitas lokal, tetapi adalah universitas nasional yang terbuka untuk siapa saja. Dengan demikian, Unja juga punya komitmen dalam proses pengembangan kebudayaan nasional.
Perkembangan kebudayaan nasional itu, seandainya diamati dan dipahami proses perubahannya, maka dapat dikatakan, kita berada pada budaya masyarakat agraris menuju masyarakat modern. Unja dengan segala fakultasnya, dengan segala perangkat-perangkat penelitiannya bisa diarahkan ke arah itu. Di samping sudah tentu juga memberikan pengetahuan-pengetahuan dasar tentang berbagai macam ilmu.
Keterlibatan Unja dalam kebudayaan, jelas tidak ingin lepas dari proses perkembangan itu sendiri. Akan tetapi, kalau ia mengambil posisi begitu, bukan berarti bahwa ia juga menganggap remeh kebudayaan lokal. Karena keberadaan Unja di Negeri Melayu Jambi adalah suatu kenyataan tersendiri yaitu kenyataan bahwa Jambi itu adalah suatu daerah yang baik, yang mewarisi budaya tradisi Melayu yang sudah mapan, dan telah menghasilkan sistem nilai demokratis dari negara kebangsaan.
Melayu Jambi juga melahirkan segi kebudayaan yang lain, terutama dalam kesenian. Ekspresi kesenian itu harus diakui, merupakan suatu aset yang terpenting bagi kebudayaan nasional. Kalau sistem nilai Melayunya ada yang tidak relevan kita pakai, biarkanlah, tidak usah lagi menjadi bagian dari sistem nilai. Akan tetapi, dari sudut melestarikan nilai-nilai estetis Melayu, Unja seyogyanya ikut aktif memelihara nilai-nilai tersebut dan mengembangkannya.
Kebudayaan dalam arti luas secara kualitatif ditandai oleh, antara lain: tingkat hidup rakyat dan kesejahteraan rakyat. Untuk menjaga kualitas ranah-ranah kebudayaan ini, perlu diciptakan suasana atau kondisi-kondisi yang kondusif. Penelitian-penelitian kebudayaan hendaknya tidak hanya diarahkan kepada sejarah kebudayaan atau peninggalan-peninggalan arkeologis, tetapi juga perlu diarahkan kepada orientasi, perubahan, dan relevansi nilai dalam sistem nilai budaya. Namun, diakui memang, kita tertumbuk pada persoalan klasik: dana penelitian; juga susahnya meyakinkan sumber-sumber dana di pusat atau dimana pun untuk menyokong penelitian-penelitian tentang kebudayaan itu.
Berbagai fakultas di Unja selayaknya terlibat dalam pembinaan dan pengembangan kebudayaan, baik yang bersifat lokal, nasional, maupun serumpun atau regional. Jurusan PBS FKIP Unja, misalnya, sudah saatnya memiliki visi dan misi budaya yang kongkret. Di samping berusaha menghasilkan sarjana-sarjana, selayiknya juga memberikan suatu wawasan mendalam mengenai permasalahan-permasalahan kebudayaan kita. Begitu juga fakultas-fakuktas lain, tak hanya menyiapkan sarjana-sarjana yang cakap dalam aspek teknis, tetapi juga keindonesiaan. Jadi, ada komitmen institusional yang terwujud secara kurikuler, kokurikuler, ekstra kurikuler, atau kebijakan yang spesifik (khusus).
Salah satu peranan perguruan tinggi di bidang kebudayaan adalah sebagai inspirator. Unja sebagai inspirator aktivitas kebudayaan atau kesenian, cukup memiliki pemikir-pemikir, Unja sebagai pusat kebudayaan harus mampu memfasilitasi dan menjadi laboratorium aspirasi masalah-masalah kemasyarakatan, politik, dan kebudayaan. Unja sebenarnya cukup punya pemikir-pemikir di bidangnya, hanya saja, Unja belum maksimal memanfaatkan potensi itu. Namun, di tengah-tengah itu, tetap terlihat adanya suatu titik cerah yang justru ditampakkan oleh aktivitas mahasiswa di bidang kebudayaan.
Sebagai lembaga pendidikan yang memliki komitmen terhadap persoalan-persoalan kebudayaan, mestinya Unja terlibat lebih banyak lagi dalam persoalan-persoalaan kebudayaan masyarakat yang tak hanya dalam satu aspek. Dalam hal ini, agaknya Unja belum maksimal. Peranan Unja dalam bidang kebudayaan, secara kongkret sebenarnya belum mendekati sebagaimana mestinya.
Sementara itu, kebudayaan dalam masyarakat berlangsung terus-menerus. Kebudayaan dalam aspek cara hidup, ekspresi dan tindakan, serta produk-produk yang dihasilkan, berlangsung dengan sendirinya. Proses kebudayaan yang ada di dalam masyarakat itu berjalan seperti air hidup, mengalir secara alamiah. Kecil sekali disentuh secara sengaja. Tak ada langkah, atau strategi yang strategis untuk menyentuh aspek-aspek dari kebudayaan yang kita sebut tadi. Misalnya dalam cara hidup, dalam teknologi, dan lain-lain. Kalaupun ada perubahan dalam masyarakat sekitarnya, itu bukan serta merta karena Unja, tetapi di dalam masyarakat itu sendiri ada proses.
Dalam ekspresi pun belum ada geliat yang bermakna. Ia terkesan hanya memproses orang-orang supaya lulus agar masuk pada pasaran kerja—kalaupun itu kesampaian--. Yang lebih dari itu, untuk memproses makhluk budaya, mungkin mencitrakan suatu proses yang terlalu muluk. Kalau dilihat secara kritis, tidak dengan mitos-mitos yang abstrak, tidak dengan kebanggaan-kebanggan semu, maka dapat ditarik suatu kenyataan: belum ada suatu sistem dalam Universitas Jambi itu yang menyebabkan lahir manusia-manusia budaya. Yang dihasilkan adalah manusia-manusia yang diproses dalam keilmuan-keilmuan tertentu yang serba tanggung juga.
Makhluk budaya harus merupakan salah satu faktor dari tiga aspek tadi (cara hidup, ekspresi dan tindakan, serta produk-produk yang dihasilkan). Berbagai aspek yang ada justru dihasilkan orang luar. Bahkan pusat-pusat penelitian yang tugasnya untuk mengkaji kebudayaan, ternyata kurang mendapat perhatian sesungguhnya. Dan yang lebih banyak mendapat perhatian adalah kajian-kajian yang bernilai politis, bernilai pragmatis, dalam konteks birokrasi pembangunan. Unja memang belum mempunyai memori untuk punya peranan dalam konteks kebudayaan. Selama ini, hanya terkesan punya peranan yang sifatnya pragmatis saja, yang bisa terpakai langsung dalam pembangunan. Padahal, sesungguhnya banyak hal yang berkaitan dengan proses kebudayaan itu tidak bisa langsung punya nilai secara pragmatis untuk pembangunan. Kita paham bahwa sesungguhnya semua institusi yang memproses manusia diharapkan manusia itu mempunyai konteks terhadap proses kebudayaan.
Jadi, ada yang harus didandani dalam institusi itu, dan yang harus didandani terlebih dahulu adalah pengajarnya sendiri. Tenaga pengajarnya harus sadar dulu bahwa ia itu makhluk berbudaya. Kalau ia tak bisa jadi produsen dulu, yah konsumen budaya dulu, konsumen budaya yang benar. Dalam penyelenggaraan-penyelenggaraan kesenian, misalnya, yang memang sering di bawah standar—yang diselenggarakan Unja--, tak ada dosennya yang datang. Jadi, apresiasinya dibenahi dulu, baru kemudian pada gilirannya bisa pada mahasiswanya. Dengan demikian, kalau lulusan-lulusan kita benar-benar sebagai makhluk budaya, niscaya nanti akan punya dampak di tengah masyarakatnya.
Kita menyadari, sebagai institusi, Unja memiliki pengaruh langsung yang kecil dalam masyarakat. Universitas sebagai lembaga pendidikan, sebagai tempat para cendekiawan, sebagi tempat permenungan-permenungan, tak akan mampu memberikan dampak langsung kepada masyarakat. Ia hanya memberi spirit, memberi inspirasi. Hal ini harus kita maklumi. Lembaga pendidikan tinggi mengemban tugas mengembangkan ilmu itu sendiri, ilmu murni atau ilmu terapan. Ia harus menjaga kemurnian itu sendiri. Sebab tanpa ilmu murni tak mungkin sarjana-sarjana terilhami untuk memecahkan masalah-masalah yang lebih praktis.
Dunia memang selalu berubah. Kini, di era yang didominasi oleh materialisme dan kapitalisme, yang berorientasi ekonomi dan politik, peranan kebudayaan semakin besar. Kebudayaan justru berfungsi sebagai penyeimbang. Pada titik tetentu, kebudayaan mengingatkan, bahwa percepatan kemajuan manusia, misalnya, terlalu cepat, terlalu jauh berorientasi ke masa depan--bahkan orientasi seperti itu bisa menimbulkan akibat-akibat yang justru negatif--, kebudayaan berfungsi menjadi suatu rem. Jika hasil-hasil penelitian dari lembaga penelitian kebudayaan, misalnya, memperlihatkan hasil yang agak berbeda dengan semangat kemajuan kapitalistik dan materialaistik yang terlalu cepat larinya, maka hasil penelitian itu dapat pula menjadi rem.
Jadi, peran lembaga pendidikan tinggi adalah memberi inspirasi-inspirasi bagi perkembangan kebudayaan masyarakatnya melalui ilmu murni, yang ditimba para mahasiswa. Kebudayaan berperan sebagai rem yang mampu menjadi penyeimbang.
Sumbangan Unja dalam bidang kebudayaan adalah berupa sumbangan akademis, misalnya sumbangan dalam bentuk kerja sama dengan Bappeda dalam perencanaan pembangunan. Hanya saja, di Provinsi Jambi, justru Bappeda tidak merekrut inspirasi-inspirasi akdemis dari Unja tetapi justra merekrut pengajar Unja sebagai birokrat di lembaga bersangkutan.
Sumbangan yang dalam arti politis di tingkat pusat, tingkat nasional belum sebesar universitas-universitas lain di Jawa. Barangkali hal ini disebabkan cara berpikir Unja yang lain. Dalam soal ekonomi, UGM misalnya, lebih berorientasi desa, UGM lebih menggarap masalah-masalah pedesaan, lebih memikirkan bisnis menengah dan bisnis kecil, sedangkan UI lebih memikirkan bisnis yang besar-besar. Keadaan ini agaknya lebih disebabkan perbedaan latar belakang sosial politik, fisik, demokrasi, dan etnis, atau karena perbedaan style.
Bagaimana keterlibatn Unja dalam kegiatan kebudayaan? Di Universitas Jambi belum ada pemikiran-pemikiran kebudayaan, begitu pula kegiatan-kegiatan kebudayaan yang mengundang perhatian “dunia”. Dalam festival dan kegiatan kesenian masih bersifat insidental, masih untuk konsumsi sivitas akademika-- kalaupun pada bulan Juli 2008 yang lalu diadakan Peksiminas (Pekan Seni Mahasiswa Nasional), secara formal adalah kegiatan kerjasama perguruan tinggi di Jambi--.
Agaknya, hal ini dapat dimaklumi. Unja belum memiliki program studi seni, alih-alih fakultas kebudayaan. Secara akademis, untuk ranah kebudayaan dan kesenian, Unja belum memiliki institusi atau pun perahu. Begitu pula di Provinsi Jambi, sehingga pembangunan di bidang yang satu ini kita jauh tertinggal. Dibukannya program studi seni atau fakultas sastra dan kebudayaan di Unja atau sekolah-sekolah seni di Provinsi Jambi adalah solusi yang urgen, bila ingin pembangunan tentang seni dan budaya dapat berjalan secara ajeg. Fungsi Kebudayaan sebagai penyeimbang akan terwujud bila pembangunan kebudayaan dilakukan secara terencana dengan mempertimbangkan aspek akedemisnya.
___________________________________________
*) Maizar Karim Elha, Pengajar Jurusan PBS FKIP Unja;

Kita Perlu Renstra

Ruang Opini

KITA PERLU RENSTRA
PENGEMBANGAN KEBUDAYAAN MELAYU JAMBI
Oleh Maizar Karim Elha*)
Ketika mengikuti Rapat Koordinasi Penelitian dan Pengembangan Daerah (Rakorlitbangda), 22 Desember 2008, saya terkesima mendengar paparan Dr. Heriyandi Roni, M.Si (Bapedda Provinsi Jambi) bahwa untuk periode 2010—2015 Pemprov Jambi dalam RPJM (Rencana Pembangunan Jangka Mendengah)-nya tidak memprioritaskan pengembangan kebudayaan. Lebih terkesima lagi saya, ketika dia menyatakan bahwa pengembangan kebudayaan adalah tanggung jawab pemerintah kota dan/atau pemerintah kabupaten. Pemprov hanya memprioritaskan empat bidang, yaitu: bidang pendidikan atau SDM, bidang pertanian, bidang kesehatan dan lingkungan, dan bidang koperasi dan UKM.
Empat pembicara (dari Bappeda Prov. Jambi) yang menguraikan permasalahan dan prioritas empat bidang yang diprioritaskan untuk RPJM di atas, tak ’sekali’ pun kosa kata ”kebudayaan” yang terlontar. Terkesan filosofi RPJM Pemprov tahun 2010—2015 adalah materialisme dan pragmatisme, jauh dari filosofi Pancasila, apalagi filosofi idealisme.
Hal ihwal ini sangat mencemaskan saya. Prioritas bidang pendidikan atau SDM, mungkin sudah mencakup pembinaan kebudayaan, tetapi bukan berarti atau bermakna pengembangan kebudayaan. Pembinaan kebudayaan terfokus pada manusianya, sedangkan pengembangan kebudayaan berkaitan dengan karya-karya budaya, baik budaya material maupun budaya spiritual.
Kenyataan menunjukkan bahwa karya-karya budaya kita tidak begitu terurus. Karya budaya material Melayu yang masih tersisa sedang menunggu kepunahan. Begitu pula karya-karya budaya spiritual Melayu semakin lama semakin mendekati kuburnya atau lenyap. Hal ini akan menggiring kita kepada suatu masa kehilangan identitas, kehilangan jati diri. Bila kita kehilangan identitas dan jati diri, maka pada gilirannya kita akan kehilangan harga diri. Apalagi di tengah derasnya arus globalisasi, budaya-budaya yang dominan dari negeri asing akan menghimpit kita, kita terperangkap ke dalam lingkaran budaya ”lain” yang tidak adaptif dengan budaya yang dimiliki oleh leluhur kita. Pengembangan kebudayaan yang khas-kita, bukan berarti kita harus fanatis perenialistis. Kita bisa saja rekonstruktif, tetapi kita tetap memiliki atau tidak kehilangan identitas atau jati diri. Kebanggaan sebagai manusia atau komunitas Melayu harus tetap kita pupuk, bila kita ingin tetap memiliki martabat.
Kesadaran akan budaya sendiri dan keanekaragaman budaya lokal pada umumnya kian menipis karena perkembangan budaya di dunia semakin dipengaruhi oleh tuntutan-tuntutan praktis-pragmatis untuk segera dapat memperoleh kebutuhan-kebutuhan pokoknya. Yang kini dianggap kebutuhan pokok itu adalah pangan, papan, sandang, dan informasi. Namun perlu diperhatikan pula bahwa arena produksi, pemasaran (pariwisata dan distribusi), serta konsumsi keempat kebutuhan pokok tersebut tidak luput dari berbagai rekayasa, baik yang berdampak positif maupun negatif, sehingga batas antara kebutuhan yang benar-benar memenuhi hajat hidup dan yang sebenarnya dapat dikesampingkan menjadi kabur.
Dalam konteks itulah kita harus melihat pula akibat dari dominasi produksi dan penyebarluasan informasi oleh negara-negara ’kuat’ tertentu, yang membawa serta dan menanamkan nilai-nilai budayanya. Yang menjadi masalah adalah bahwa rakyat kebanyakan di pihak penerima tidak menyadari adanya penetrasi budaya tersebut, dan menganggap apa pun yang diterimanya adalah ’bahan ajar’ yang membawa kepada ’kemajuan’.
Dalam situasi yang terbentuk karena itu, budaya yang diinformasikan secara kuat itu dianggap atau didesakkan untuk dianggap sebagai budaya ”mainstream” dunia, sedangkan budaya-budaya lain yang amat sangat lebih banyak di dunia ini menjadi terpinggirkan. Situasi inilah yang membawa organisasi-organisasi dunia tertentu, seperti UNESCO dan Non-Blok, selalu melontarkan resolusi-resolusi agar semua kebudayaan di dunia ini melestarikan jati dirinya.
Jambi, sebagai salah satu kelompok etnis Melayu berada dalam lingkaran tersebut. Bila tidak ada usaha pembinaan dan pengembangan budaya Melayu Jambi secara terencana dan intensif, baik secara horizontal maupun vertikal, maka kita akan terbawa arus, hingga sampai ke ”lubuk dalam” yang kita sendiri tidak tahu lagi siapa kita. Kita sudah tidak memiliki penanda lagi. Kita dan budaya kita terbenam tak berriak.
Kebudayaan Melayu Jambi adalah hasil kegiatan dan penciptaan batin, yakni akal budi manusia atau masyarakat Melayu, seperti adat istiadat, kepercayaan, kesenian, dan lain-lain yang serupa. Umumnya hasil kegiatan akal budi manusia di kebanyakan daerah, hadir berupa adat-istiadat yang didasarkan atas ajaran agama. Karena itu pula agaknya yang melahirkan ungkapan dalam alam budaya Melayu Jambi: ”Adat bersendi syarak, syarak bersendi kitabullah. Kitab Allah yang mengatakan, adat yang memakai (menerapkannya).”
Demikiankianlah, kebudayaan adalah landasan pengukuh kesadaran jati diri masyarakat atau daerah atau bangsa, maka betapapun dinamisnya kehidupan budaya suatu masyakarat dan bangsa dalam interaksinya dengan budaya asing, gejala keterasingan terhadap nilai-nilai budayua sendiri perlu dihindarkan. Masalah ini sudah lama menjadi perhatian UNESCO, yang kemudian mengusulkan perlunya PBB mencanangkan satu dasawarsa khusus untuk diisi dengan ikhtiar pengembangan kebudayaan bangsa-bangsa atau kebudayaan lokal.
Hal tersebut jelas bertujuan untuk memperkukuh ketahanan budaya bangsa atau daerah tertentu. Akan tetapi, di negeri ini (Melayu Jambi), kita belum atau tidak mampu mencegah terjadinya arus pengaruh sepihak akibat terpaan proses pembudayaan yang berasal dari pusat-pusat global. Kalau inferioritas budaya kita dan ketimpangan dalam pertemuan antarbudaya ini sebagai akibat arus informasi yang berlangsung satu arah, kita perlu membuat antisipasi tentang kemungkinan bangkitnya gejala alienasi budaya disertai distorsi nilai-nilainya. Pembinaan dan pengembangan kebudayaan kita yang adiluhung harus dilakukan secara serius.
Agaknya, begitu pulalah yang dihadapi oleh manusia dan kemanusiaan dewasa ini, yang akhirnya mungkin akan bermuara pada krisis nilai-nilai budaya serta goyahnya norma-norma konformisme dalam kehidupan bermasyarakat. Proses pembudayaan yang menerpa secara bertubi-tubi dan sepihak itu niscaya pada saatnya akan menghentakkan kesadaran kita yang terhanyut olehnya untuk berusaha menggali dan menemukan kembali makna kesejatian eksistensi kita sebagai manusia.
Tentu saja, kebudayaan kita akan semakin terpuruk, bila kita yang empunya kebudayaan itu sendiri tidak menyadari akan peranan kebudayaan sebagai media dan sumber pengukuhan jati diri dan pemerkaya spiritual manusia. Perhatian yang sungguh-sungguh terhadap pembinanan dan pengembangan kebudayaan adalah sesuatu yang niscaya, bila kita tidak mau terjebak ke dalam lingkaran dehumanisasi.
Bila kita kembali menengok Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) Pemprov Jambi untuk tahun 2010—2015 seperti ditawarkan Beppeda Provinsi Jambi di awal tulisan ini, maka upaya pembinaan dan pengembangan kebudayaan Melayu Jambi tidak bisa hanya diserahkan kepada pemerintah kota atau pemerintah kabupaten. Memang setiap manusia atau setiap komunitas punya tenggung jawab yang penuh, tetapi pemerintah provinsi lebih bertanggung jawab lagi. Pemerintah provinsi perlu membuat rencana strategis dalam membina dan mengembangkan kebudayaan di daerahnya. Dan hal ini harus dicantumkan secara eksplisit dalan rencana pembangunan jangka pendek, menengah, dan panjang. Semoga.

___________________
*) Maizar Karim Elha, Ketua Pusat Penelitian Budaya Melayu,
Lembaga Penelitian Universitas Jambi;
Ketua Asosiasi Tradisi Lisan Melayu Jambi.